Ki Ageng Kedungsari adalah warga terpandang di daerah Gebog yang sekarang berada diwilayah kabupaten Kudus. Ia piun berbahagia dengan seorang anak lelakinya yang tampan. Setelah menyaksikan anaknya yang dewasa berniatlah Ki Ageng menikahkannya. Akan tetapi anaknya mengaku belum memiliki pilihan hati. Oleh karena itu Ki Ageng Kedungsari mencarikan seorang gadis yang kelak pantaas mendampingi anaknya. Beberapa waktu kemudian Ki Ageng mendapat kabar bahwa Ki Ageng Rajekwesi di daerah Jepara memiliki seorang gadis yang cantik jelita.
Rencana kunjungan dan melamar ke Jepara segera di persiapkan bersama seluruh kerabat yang semuanya adalah orang terpandang. Dalam lubuk hati Ki Ageng Kedungsari, bersemilah harapan yang indah karena merasa dirinya orang yang kaya dan terhormat.
“Berangkatlah dengan segala kewibawaan agar tidak dipermalukan orang,” ujar Ki Ageng Kedungsari kepada sanak kerabtnya yang sudah berkemas melaksanakan tugas melamar. Tentu saja ucapan itu disambut dengan senyum kebanggaan.
“Percayalah kami akan menjadi utusan yang terbaik dari Kedungsari. Siapa lagi yang belum mendengar kewibawaan Ki Ageng? Bodohlah orang yang menolak lamarannya.” Ucapan itu muncul dari seorang pendekar yang akan bertugas melindungi segenap rombongan dari kejhatan selama perjalanan.
Sambutan Ki Ageng Rajekwesi di Jepara terhadap utusan Ki Ageng Kedungsari sangat menyenangkan jamuan makanan dan minuman terus mengalir diiringi tarian dan gamelan yang meriah sehigga cepat hilanglah segala keletihan yang telah menempuh perjalanan yang jauh.
Setelah beramah tamah secukupnya maka disampaikanlah kehendak Ki Ageng Kedungsari untuk melamar putri Ki Ageng Rajekweai bagi anak laki-lakinya yang tunggal. Dikatakan pula bahwa keinginan apapun dari gadis itu akan terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
Mendengar lamaran itu tersenyumalah Ki Ageng Rajerkwesi kemudian ia berkata dengan lembutnya “ ki sanak, terima kasih atas pilihan Ki Ageng Kedungsari terhadap putri kami yang masih bocah. Tetapi ketahuilah bahwa sesungguhnya sudah banyak orang yang melamarnya,. Namun sampai saat ini putriku sendiri belum bersedia menetapkan pilihannya. Yang kudengar dia sanggup dilamar siapapun jika mas kawinnya seekor gajah. Nah sudilah Ki sanak menyampaikan kepada Ki Ageng Kedungsari.
Kalimat itu diterima oleh ketua rombongan dengan senyuman lega karena teringatlah pada seekor gajah kesayangan Ki Ageng Kedungsari. Kemudian bergegaslah mereka berpamitan kembali ke Kudus.
Konon Ki Ageng Kedungsari sudah menunggu-nunggu hasi utusannya dengan harapan yang indah. Akan tetapi, terkejutlah hatinya mendengar persyaratan mas kawin seekor gajah. Lama dia menimbang dan akhirnya memutuskan hendak mengabulkan permintaan calon menantunya. Jadi kasih sayangnya terhadap anak dapat mengalahkan kesenangannya sendiri. Kemudian tersiarlah kabar dari mulut ke mulut penduduk tentang lamaran Ki Ageng Kedungsari yang telah merelakan seekor gajah kesayangannya sebagi mas kawin. Kabar itupun terdengar oleh Ki Ageng Menawan yang merasa iri hatinya membayangkan keberhasilan Ki Ageng Kedungsari. Dalam hatinya tumbuh niat yang jahat hendak menggaglkan rencana itu bahkan ingin merampas gajah Ki Ageng Kedungsari untuk dirinya sendiri. Pikirnya” kalau aku memiliki gajah itu pastilah menjadi orang terpandang. Dan sekaranglah saatnya yang tepat.”
Begegaslah orang itu bersekongkol dengan sahabatnya yang terkenakl dengan sebutan Ki Watu Gede. Dengan semangat yang berkobar-kobar berujarlah dia kepada sahabatnya.
“Kelak utusan Ki Ageng Kedungsari pastilah melewati daerahmu, membawa harta benda yang mahal-mahal dan menuntun seekor gajah untuk mas kawin Putri Rajekwesi. Jangan sia-siakan kesempatan itu, dan rampasannya dibagi dua. Ki Watu Gede boleh memiliki seluruh harta benda sedangkan aku hanya ingin memiliki gajahnya. Setuju, bukan?”
Mendengar tawaran itu tertawalah Ki Watu Gede sambil berjanji hendak bekerja sama dengan sebaik-baiknya. Namun didalam hati tebit juga keinginannya untuk memikiki sendiri gajah itu agar kelak menjadi orang terpandang.
Tidak lama kemudian rombongan dari Kedungsari telah memasuki wilayah kekuasaan Ki Watu Gede. Merejka baru menempuh setengah perjalanan untuk mencapai daerah Jepara. Seluruh anggota rombongan itu semakin meningkatkan kewapadaan karena sadar telah berada diluar wilayahnya sendiri. Mereka udah berpikir bahwa setiap saat bisa terjadi perampokan terhadap harta bendanya.
Ternyata musibah itu harus dihadapinya. Pada saat bermalam datanglah Ki Watu Gede dan Ki Menawan yang bermaksud merampas harta benda dan gajahnya. Tentu saja permintaan itu ditolak mentah-mentah sehingga terjadilah perkelahian yang seru selama berhari hari. Kedua pihak menguras kesaktiannya, jatuh bangun dan kalah menang silih berganti sehingga menjadi kabar yang tersiar luas dikalangan penduduk sampai terdengar oleh Ki Ageng Kedungsari.
Perkelahian semakin seru dengan datangnya Ki Ageng Kedungsari yang terbakat hatinya. Namun sampai sekian hari kemudian tak seorangpun yang terkalahkan. Akhirnya tercapailah perundingan untuk membagi gajah menjadi tiga bagian. Ki Menawan memiliki kepalanya Ki Ageng Kedungsari membawa gembung atau tubuhnya, dan Ki Watu Gede berhak atas pantat atau ekornya.
Dari peristiwa itu kelak berkembanglah kepercayaan bahwa keturunan Ki Menawan adalah orng yang pemberani, keturunan Ki Ageng Kedungsari ditakdirkan banyak rejekinya dan keturunan Ki Watu Gede dikodratkan selalu kesulitan mencari kehidupan yang layak.
Sekarang orangpun dapat menyakikan ketiga bagian gajah itu sebagai batu yang besar yaitu di desa Kedungsari dan desa Menawan di wilayah kecamatan Gebog kabupaten Kudus. Satu bagian lagi terdapat di desa Watu Gede , kecamatan Mayong, kabupaten Jepara